Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
RIAU ADALAH tanah air kebudayaan
Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh berbagai fakta kesejarahan. Di
kawasan ini sampai sekarang hidup sejumlah suku asli (Sakai, Bonai,
Akit, Hutan, Petalangan, Talang Mamak, Duano, dll.), dan masyarakat adat
seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo
koto dan tigo baleh koto di Kampar, dan lain-lain. Sejumlah peninggalan
sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula
tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno di kawasan ini, mulai
dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha. Beberapa kajian
ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah bertapak di
kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya yang
membelah kawasan ini, selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah
kerajaan, seperti Gasib (kemudian Siak Sri Inderapura), Kampar (dan
Pelalawan dan Gunung Sahilan), Rokan (dan Kunto Darussalam, Tambusai,
Rambah, serta Kepenuhan), dan Kerajaan Keritang, Inderagiri, serta
Kandis.
Setelah imperium Melaka yang berpusat di
semenanjung dikalahkan Portugis pada tahun 1511, federasi budaya,
politik, dan ekonomi kawasan ini, bersama-sama Riau-Lingga, menjadi
kekuatan penyangga kesinambungan kekuasaan Melayu yang berturut-turut
berpusat di Johor, Riau, dan Lingga. Di tengah-tengah keluasan pengaruh
kolonial Belanda dan Inggris di Alam Melayu, pada abad ke-18 sampai
pertengahan abad ke-20, Kerajaan Siak Sri Indrapura bahkan tampil
sebagai pusat pewarisan kejayaan Melaka bersama Kerajaan Riau-Lingga dan
Daerah Takluknya (di Kepulauan Riau).
Di dalam kehidupan suku-suku asli,
masyarakat adat, dan masyarakat beraja-raja tersebut, wujud kebudayaan
Melayu dipelihara menjadi patokan kehidupan sosial. Agama Islam yang
mobilitas penyebarannya bermula dari elite perbandaran dan perdagangan,
kemudian mempengaruhi perubahan-perubahan penting dalam kebudayaan
tempatan. Lebih dari yang lainnya, Islam secara historis bahkan menjadi
inti dari dinamika kebudayaan Melayu tersebut. Pada peringkat gagasan,
nilai, norma, hukum, dan aturan sosial, misalnya, Islam merasuk
sedemikian rupa menjadi kriteria penapis sendi-sendi kehidupan sosial,
sebagaimana tergambar dari pernyataan: adat bersendi syarak dan syarak
bersendi Kitabullah (Al-Quran). Sedangkan dalam karya dan praktik
budaya, Islam memperkenalkan tulisan (huruf Arab) yang menyuburkan
budaya tulis-baca (beraksara), yang kelak dianggap sebagai bagian utama
dari prestasi puncak kebudayaan dan peradaban Melayu di Riau.
Sejarah panjang perkembangan dan
pencapaian kebudayaan Melayu tersebut berhubungan pula dengan letak Riau
sebagai frontier area di lingkungan dinamika perdagangan dunia Selat
Melaka. Di samping itu, alamnya juga sangat kaya dengan komoditas
ekonomis, sehingga selama berabad-abad menjadi kawasan tujuan pendatang.
Interaksi dengan pendatang juga berpengaruh terhadap perkembangan
peradaban dan kebudayaan di rantau ini, di samping Islam. Interaksi
dengan dunia luar dan pendatang ini, dalam konteks praksis sosial dan
budaya materi misalnya, telah membiasakan orang Melayu dengan berbagai
teknologi perairan dan pertanian. Sedangkan dalam konteks karya budaya,
telah menghasilkan perubahan-perubahan penting dalam tradisi kesenian
(seperti tercermin secara historis dalam perkembangan teater populer
Bangsawan, penggunaan percetakan untuk penyebaran hikayat, dan
syair-syair, dan lain-lain hingga ke genre sastra modern seperti puisi,
cerita pendek, dan novel.
Namun, keunggulan sumber daya alam dan
letak strategis Riau, bersama kekuasaan politik bentuk kerajaan, itu
pula yang kelak menyebabkan kebudayaan Melayu mengalami
goncangan-goncangan dalam sejarah kontemporer. Sebagaimana tersirat
dalam gambaran ringkas di atas, meski Riau juga dilanda kolonisasi,
jangkauan kuasa politik kolonial Belanda tersebut tidak mampu menjangkau
inti kedaulatan kebudayaan Melayu tersebut. Alam dan petabumi Riau
tetap merupakan bagian dari kedaulatan kebudayaan, yang berpusat pada
masyarakat adat dan raja-raja. Pusat kedaulatan itulah kemudian yang
dipecahkan oleh apa yang dalam sejarah Indonesia disebut sebagai gerakan
nasionalisme, yang dari perspektif sejarah kebudayaan Melayu di Riau
antara lain mewujud dalam bentuk berkembangnya semangat ‘permusuhan’
terhadap para raja dan penghapusan kekuasaan mereka. Dasar pijakan bagi
semangat permusuhan itu adalah pengalaman tentang feodalisme yang pada
umumnya dikonstruksi berdasarkan kehidupan monarkhi di negara
kontinental dan masyarakat agraris, seperti di Jawa. Padahal
negara-negara di Alam Melayu bercirikan arkipelagik, berorientasi
ekonomi perdagangan bahari. Ironisnya, manakala kekuasaan beraja-raja
yang arkipelagik di luar Jawa dihapuskan, yang menyebabkan pecahnya
pusat rujukan di kawasan-kawasan itu, kekuasaan monarkhi
kontinental-agraris di Jawa sendiri tetap diberi ruang hidup yang
leluasa.
Pada 17 Agustus 1945, Indonesia
diproklamirkan sebagai negara merdeka, dengan rangkuman wilayah yang
sama dengan kekuasaan Hindia Belanda. Dalam kerangka kenegaraan,
dinamika kebudayaan diberi ruang yang luas dalam konstitusi, sebagaimana
diatur dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat
sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia
terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke
arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa itu sendiri, serta mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan
bahwa memajukan kebudayaan bangsa bertujuan untuk menciptakan suatu
kebudayaan yang berfungsi sebagai: (a) sarana aktualisasi masyarakat
Indonesia yang majemuk sebagai satu bangsa yang besar; (b) kerangka
acuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan pergaulan antar sesama
warga negara; (c) pedoman dalam mengembangkan kreativitas ke arah
pengembangan kebudayaan dinamis demi kejayaan bangsa.
Namun, ruang luas untuk berkembang yang
diberikan oleh negara sebagaimana dikutip di atas, dalam praktiknya
tetap tidak berlaku bagi kebudayaan Melayu di Riau, karena beberapa
perkembangan berikut ini.Pertama, politik negara yang sentralistik
selama beberapa dasawarsa dalam sejarah kontemporer Indonesia. Di masa
Orde Baru misalnya, negara menerapkan kebijakan kebudayaan nasional yang
kriterianya tidak mengakomodir hakikat kemajemukan budaya-budaya
nusantara. Dalam struktur administrasi pemerintahan misalnya, peranan
pemerintahan “tali berpilin tiga” yang merupakan ciri pemerintahan
Melayu pada struktur terbawah digantikan oleh pemerintahan tunggal
kepala desa. Akibatnya, pemimpin agama (ulama) dan pemangku adat serta
cendekiawan (sebagai pusat-pusat rujukan kebudayaan) kehilangan
perannya, dan kehidupan keagamaan serta kebudayaan tersisih. Kedua,
kebijakan ekonomi kapitalistik, sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
yang berdampak pada menyempitnya ruang hidup kebudayaan dengan
eksploitasi sumber daya alam (terutama hutan-tanah) besar-besaran di
Riau. Selain merusak ‘sarang’ berbagai ekspresi budaya Melayu,
akselerasi kapitalisme itu juga memicu dan memacu perubahan orientasi
ekonomi menuju ekonomi pasar atau uang, serta menggerus kepercayaan
sosial pendukung kebudayaan Melayu pada nilai-nilai luhur kebudayaan
mereka. Ketiga, perkembangan budaya global yang masuk melalui media
bersama dengan perubahan orientasi ekonomi, yang pada gilirannya
mendorong perkembangan budaya konsumtif yang hedonis.
Kembali ke puncak
Namun demikian, pada tahun 2001,
pemerintah dan masyarakat Provinsi Riau mengambil keputusan politik
tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Riau dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 36 Tahun 2001, yang di dalamnya termaktub Visi Riau 2020.
Visi tersebut berbunyi: “Terwujudnya Riau sebagai pusat perekonomian
dan kebudayaan Melayu di lingkungan masyarakat yang agamis sejahtera
lahir batin di Asia Tenggara pada tahun 2020”. Berdasarkan kalimat Visi
Riau 2020, subyek utama yang ingin dicapai dari setiap aktivitas
pembangunan di Riau adalah Riau sebagai pusat perekonomian dan pusat
kebudayaan Melayu dengan bentangan ruang (locus) Asia Tenggara.
Posisi Riau di masa depan tersebut
meniscayakan Riau pada tahun 2020 dalam bidang seni budaya menjadi pusat
pemeliharaan, aktivitas, dan kreativitas, serta even-even pembentangan
dan diseminasi (penyebaran) produk-produk seni budaya Melayu dengan
rentang kawasan nusantara (Asia Tenggara). Riau sebagai pusat aktivitas
seni budaya Melayu’ adalah bahwa Riau merupakan tempat pemeliharaan
berkesinambungan, sekaligus aktivitas produksi seni budaya Melayu, baik
seni budaya Melayu warisan/tradisional (meliputi artefak atau
benda-benda budaya, seni bahasa/sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan
(termasuk upacara-upacara adat, pengobatan, dan keagamaan), maupun seni
budaya modern. Meningkatkan kreativitas seni budaya Melayu, yaitu
meningkatkan kuantitas dan kualitas seniman serta produksi dan
ketersebaran produksi seni kreatif yang berbasis kebudayaan Melayu di
Riau. Riau sebagai pusat dokumentasi, riset, dan pengembangan seni
budaya Melayu ialah bahwa Riau memiliki pangkalan data seni budaya
Melayu nusantara, dengan dokumentasi yang lengkap, dan menjadi pusat
aktivitas penelitian dan pengembangan seni berbasis kebudayaan Melayu.
Membangun jaringan informasi seni budaya Melayu, yaitu bahwa Riau
tercantum sebagai tempat utama jaringan informasi seni budaya Melayu di
Asia Tenggara khususnya, di dunia pada umumnya.
Dengan diberlakukannya undang-undang
perimbangan keuangan pusat dan daerah maka keadaan pendanaan menjadi
lebih lumayan dibandingkan sebelumnya. Hal ini merupakan peluang Riau
dalam meniscayakan penguatan dan pengembangan budaya Melayu. Riau
kembali akan menjadikan pusat kebudayaan Melayu dengan budaya dan seni
Melayu yang diperkuat dan berkembang secara sistemik dan dinamis. Budaya
dan seni akan semakin berkembang dan maju dengan didukung oleh kegiatan
akademis yang rasional dan dinamis. Puskalam. [rc]Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Pengakuan
bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa
Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu
pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan
sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya
yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah
yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.
Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat
penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun
bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai
harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang
membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak
begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional
Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku
babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan
kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan
disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti
Aceh.
Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu,
kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang
bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku
pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu
itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai
di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan
Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan
merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian
sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan
menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa
Melayu itu berlangsung.
Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut
hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar
itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang
merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok
seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan
sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang
sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan
memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam
pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau,
tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang
merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya
empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik
dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan
Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr
Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”,
sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.
Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih
belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau
itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak
jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun
sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau,
kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan
ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang
dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan
kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan
sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu
sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685)
dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar
(Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690
pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di
Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika
orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih
ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih
sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan
pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan
Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah
pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung
Melaysia di bawah kekuasan Inggris.
Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau
itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik
internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau
terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat
pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya
digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511,
yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti
untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr
Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai
bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris
bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan
pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511
itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda
terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.
Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya,
Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau
mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan
raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”.
Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang
mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.
Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan
selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai
salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam
dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.
Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang
pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru)
dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman).
Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di
Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan
peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya
Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah
kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.
Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti
masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai
pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh
kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan
kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari
tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak
Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di
Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian
memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja
kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms
mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam
upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu
terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang
terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru,
yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu
Kesultanan Siak (1723-1945).
Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian
bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini)
ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu
Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan
Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan,
selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu,
yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya
banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan
Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima
abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor
(1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945.
Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang
yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian
bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.
Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai
Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi
perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan
Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang
dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan
Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan
menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan
wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang,
keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua
Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah
Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan
pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor
dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri
sendiri.
Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan
yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya
berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan
berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda,
maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC.
Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut
bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian
para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu
meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari
sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai
daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi
peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795,
Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil
alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di
Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti
sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau
kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan
Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.
Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian
membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu,
seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan
tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528
sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni
jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali
dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia
sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang
kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus
terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga
Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di
sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung
dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat
untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan-
tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka
Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan
sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang
tersebut ikut dicatat.
Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau
itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar
sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku
“Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu
ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi
sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan
banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan
Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan
terlalu “Anti Bugis”.
Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan
Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan
Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk
mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan
kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat
penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.
Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya
melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja
para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan
Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap
terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil
kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan
figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”
Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah
satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan
tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih,
sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih
terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di
Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit
menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber
pembentukan bahasa Melayu tinggi itu