begroun

Change Background of This Blog!



Pasang Seperti Ini

Senin, 26 Agustus 2013

Nama-nama Tarian Daerah Riau

Nama-nama Tarian Daerah Riau

Daerah Riau kaya akan kebudayaan-kebudayaan tradisional daerahnya. diantaranya dalam tarian. Ada beberapa jumlah tarian-tarian di daerah Riau, diantaranya :

Tari Marhaban

Tari menjunjung duli

Tari Tandak Pengasih

Tari Ikan Kekek

Tari Tarek Rawai

Tari Masri

Tari Betabik

Tari Lenggang cecak

Tari Laksemane Bentan

Joget Bebtan

Tari Joget Kak Long dari Moro

Tari Joget Mak Dare

Tari Joget Makcik normah di pulau Panjang Batam

Tari Makan Sirih (Persembahan) Kepulauan Riau

Tari Madah Gurindam Tanjung Pinang

Tari Tabal Gempita

Tarian Gamelan Riau

Tari Zapin Pulau Penyengat

Tari Dangong

Tari Jogi

Tari Meleman

Tari Makyong

Tari Mendu

Tari Inai

Tari Dayung Sampan

Tari Topeng Kepulauan Riau

Tari Lang-lang Buana

Tari Alu

Tari Ayam Sudur

Tari Boria

Tari Zikir Barat

Tari Rokana

Tari Joget Lambak

Tari Damnah

Tari Semah Kajang

Tari Dendang Dangkong

Tari Sirih Lelat

Tari Tebus Kipas

Tari Sekapur Sirih

Tari Engku Puteri

Tari Mustika Kencana

Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu

Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu

Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
RIAU ADALAH tanah air kebudayaan Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh berbagai fakta kesejarahan. Di kawasan ini sampai sekarang hidup sejumlah suku asli (Sakai, Bonai, Akit, Hutan, Petalangan, Talang Mamak, Duano, dll.), dan masyarakat adat seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo baleh koto di Kampar, dan lain-lain. Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno di kawasan ini, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha. Beberapa kajian ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah bertapak di kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya yang membelah kawasan ini, selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah kerajaan, seperti Gasib (kemudian Siak Sri Inderapura), Kampar (dan Pelalawan dan Gunung Sahilan), Rokan (dan Kunto Darussalam, Tambusai, Rambah, serta Kepenuhan), dan Kerajaan Keritang, Inderagiri, serta Kandis.
Setelah imperium Melaka yang berpusat di semenanjung dikalahkan Portugis pada tahun 1511, federasi budaya, politik, dan ekonomi kawasan ini, bersama-sama Riau-Lingga, menjadi kekuatan penyangga kesinambungan kekuasaan Melayu yang berturut-turut berpusat di Johor, Riau, dan Lingga. Di tengah-tengah keluasan pengaruh kolonial Belanda dan Inggris di Alam Melayu, pada abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20, Kerajaan Siak Sri Indrapura bahkan tampil sebagai pusat pewarisan kejayaan Melaka bersama Kerajaan Riau-Lingga dan Daerah Takluknya (di Kepulauan Riau).
Di dalam kehidupan suku-suku asli, masyarakat adat, dan masyarakat beraja-raja tersebut, wujud kebudayaan Melayu dipelihara menjadi patokan kehidupan sosial. Agama Islam yang mobilitas penyebarannya bermula dari elite perbandaran dan perdagangan, kemudian mempengaruhi perubahan-perubahan penting dalam kebudayaan tempatan. Lebih dari yang lainnya, Islam secara historis bahkan menjadi inti dari dinamika kebudayaan Melayu tersebut. Pada peringkat gagasan, nilai, norma, hukum, dan aturan sosial, misalnya, Islam merasuk sedemikian rupa menjadi kriteria penapis sendi-sendi kehidupan sosial, sebagaimana tergambar dari pernyataan: adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah (Al-Quran). Sedangkan dalam karya dan praktik budaya, Islam memperkenalkan tulisan (huruf Arab) yang menyuburkan budaya tulis-baca (beraksara), yang kelak dianggap sebagai bagian utama dari prestasi puncak kebudayaan dan peradaban Melayu di Riau.
Sejarah panjang perkembangan dan pencapaian kebudayaan Melayu tersebut berhubungan pula dengan letak Riau sebagai frontier area di lingkungan dinamika perdagangan dunia Selat Melaka. Di samping itu, alamnya juga sangat kaya dengan komoditas ekonomis, sehingga selama berabad-abad menjadi kawasan tujuan pendatang. Interaksi dengan pendatang juga berpengaruh terhadap perkembangan peradaban dan kebudayaan di rantau ini, di samping Islam. Interaksi dengan dunia luar dan pendatang ini, dalam konteks praksis sosial dan budaya materi misalnya, telah membiasakan orang Melayu dengan berbagai teknologi perairan dan pertanian. Sedangkan dalam konteks karya budaya, telah menghasilkan perubahan-perubahan penting dalam tradisi kesenian (seperti tercermin secara historis dalam perkembangan teater populer Bangsawan, penggunaan percetakan untuk penyebaran hikayat, dan syair-syair, dan lain-lain hingga ke genre sastra modern seperti puisi, cerita pendek, dan novel.
Namun, keunggulan sumber daya alam dan letak strategis Riau, bersama kekuasaan politik bentuk kerajaan, itu pula yang kelak menyebabkan kebudayaan Melayu mengalami goncangan-goncangan dalam sejarah kontemporer. Sebagaimana tersirat dalam gambaran ringkas di atas, meski Riau juga dilanda kolonisasi, jangkauan kuasa politik kolonial Belanda tersebut tidak mampu menjangkau inti kedaulatan kebudayaan Melayu tersebut. Alam dan petabumi Riau tetap merupakan bagian dari kedaulatan kebudayaan, yang berpusat pada masyarakat adat dan raja-raja. Pusat kedaulatan itulah kemudian yang dipecahkan oleh apa yang dalam sejarah Indonesia disebut sebagai gerakan nasionalisme, yang dari perspektif sejarah kebudayaan Melayu di Riau antara lain mewujud dalam bentuk berkembangnya semangat ‘permusuhan’ terhadap para raja dan penghapusan kekuasaan mereka. Dasar pijakan bagi semangat permusuhan itu adalah pengalaman tentang feodalisme yang pada umumnya dikonstruksi berdasarkan kehidupan monarkhi di negara kontinental dan masyarakat agraris, seperti di Jawa. Padahal negara-negara di Alam Melayu bercirikan arkipelagik, berorientasi ekonomi perdagangan bahari. Ironisnya, manakala kekuasaan beraja-raja yang arkipelagik di luar Jawa dihapuskan, yang menyebabkan pecahnya pusat rujukan di kawasan-kawasan itu, kekuasaan monarkhi kontinental-agraris di Jawa sendiri tetap diberi ruang hidup yang leluasa.
Pada 17 Agustus 1945, Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka, dengan rangkuman wilayah yang sama dengan kekuasaan Hindia Belanda. Dalam kerangka kenegaraan, dinamika kebudayaan diberi ruang yang luas dalam konstitusi, sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa itu sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa memajukan kebudayaan bangsa bertujuan untuk menciptakan suatu kebudayaan yang berfungsi sebagai: (a) sarana aktualisasi masyarakat Indonesia yang majemuk sebagai satu bangsa yang besar; (b) kerangka acuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan pergaulan antar sesama warga negara; (c) pedoman dalam mengembangkan kreativitas ke arah pengembangan kebudayaan dinamis demi kejayaan bangsa.
Namun, ruang luas untuk berkembang yang diberikan oleh negara sebagaimana dikutip di atas, dalam praktiknya tetap tidak berlaku bagi kebudayaan Melayu di Riau, karena beberapa perkembangan berikut ini.Pertama, politik negara yang sentralistik selama beberapa dasawarsa dalam sejarah kontemporer Indonesia. Di masa Orde Baru misalnya, negara menerapkan kebijakan kebudayaan nasional yang kriterianya tidak mengakomodir hakikat kemajemukan budaya-budaya nusantara. Dalam struktur administrasi pemerintahan misalnya, peranan pemerintahan “tali berpilin tiga” yang merupakan ciri pemerintahan Melayu pada struktur terbawah digantikan oleh pemerintahan tunggal kepala desa. Akibatnya, pemimpin agama (ulama) dan pemangku adat serta cendekiawan (sebagai pusat-pusat rujukan kebudayaan) kehilangan perannya, dan kehidupan keagamaan serta kebudayaan tersisih. Kedua, kebijakan ekonomi kapitalistik, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yang berdampak pada menyempitnya ruang hidup kebudayaan dengan eksploitasi sumber daya alam (terutama hutan-tanah) besar-besaran di Riau. Selain merusak ‘sarang’ berbagai ekspresi budaya Melayu, akselerasi kapitalisme itu juga memicu dan memacu perubahan orientasi ekonomi menuju ekonomi pasar atau uang, serta menggerus kepercayaan sosial pendukung kebudayaan Melayu pada nilai-nilai luhur kebudayaan mereka. Ketiga, perkembangan budaya global yang masuk melalui media bersama dengan perubahan orientasi ekonomi, yang pada gilirannya mendorong perkembangan budaya konsumtif yang hedonis.
Kembali ke puncak
Namun demikian, pada tahun 2001, pemerintah dan masyarakat Provinsi Riau mengambil keputusan politik tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Riau dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 36 Tahun 2001, yang di dalamnya termaktub Visi Riau 2020. Visi tersebut berbunyi: “Terwujudnya Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di lingkungan masyarakat yang agamis sejahtera lahir batin di Asia Tenggara pada tahun 2020”. Berdasarkan kalimat Visi Riau 2020, subyek utama yang ingin dicapai dari setiap aktivitas pembangunan di Riau adalah Riau sebagai pusat perekonomian dan pusat kebudayaan Melayu dengan bentangan ruang (locus) Asia Tenggara.
Posisi Riau di masa depan tersebut meniscayakan Riau pada tahun 2020 dalam bidang seni budaya menjadi pusat pemeliharaan, aktivitas, dan kreativitas, serta even-even pembentangan dan diseminasi (penyebaran) produk-produk seni budaya Melayu dengan rentang kawasan nusantara (Asia Tenggara). Riau sebagai pusat aktivitas seni budaya Melayu’ adalah bahwa Riau merupakan tempat pemeliharaan berkesinambungan, sekaligus aktivitas produksi seni budaya Melayu, baik seni budaya Melayu warisan/tradisional (meliputi artefak atau benda-benda budaya, seni bahasa/sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan (termasuk upacara-upacara adat, pengobatan, dan keagamaan), maupun seni budaya modern. Meningkatkan kreativitas seni budaya Melayu, yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas seniman serta produksi dan ketersebaran produksi seni kreatif yang berbasis kebudayaan Melayu di Riau. Riau sebagai pusat dokumentasi, riset, dan pengembangan seni budaya Melayu ialah bahwa Riau memiliki pangkalan data seni budaya Melayu nusantara, dengan dokumentasi yang lengkap, dan menjadi pusat aktivitas penelitian dan pengembangan seni berbasis kebudayaan Melayu. Membangun jaringan informasi seni budaya Melayu, yaitu bahwa Riau tercantum sebagai tempat utama jaringan informasi seni budaya Melayu di Asia Tenggara khususnya, di dunia pada umumnya.
Dengan diberlakukannya undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah maka keadaan pendanaan menjadi lebih lumayan dibandingkan sebelumnya. Hal ini merupakan peluang Riau dalam meniscayakan penguatan dan pengembangan budaya Melayu. Riau kembali akan menjadikan pusat kebudayaan Melayu dengan budaya dan seni Melayu yang diperkuat dan berkembang secara sistemik dan dinamis. Budaya dan seni akan semakin berkembang dan maju dengan didukung oleh kegiatan akademis yang rasional dan dinamis. Puskalam. [rc]Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang  membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor  (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu  itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.

Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang  dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu

Kamis, 22 Agustus 2013

Mendiagnosa Permasalahan Pengoprasian PC Yang Tersambung Jaringan

Mendiagnosa Permasalahan Pengoprasian PC Yang Tersambung Jaringan

On Selasa, 24 Agustus 2010 0 komentar


1) Sebutkan peralatan vital yang harus dimiliki untuk membangun sebuah jaringan beserta fungsinya masing-masing dalam jaringan tersebut!
Jawab :Peralatan vital yang harus dimiliki untuk membangun sebuah jaringan beserta fungsinya masing-masing dalam jaringan tersebut adalah:

a) Komputer SeverFungsi komputer Server adalah sebagai pusat data sebagai pintu masuk ke dalam sistem jaringan dan berisikan daftar user yang diperbolehkan masuk ke server atau kedalam sistem jaringan tersebut.

b) Komputer workstation (client)Komputer client berfungsi memanfaatkan jaringan untuk menghubungkan komputer tersebut dengan komputer lain atau komputer tersebut dengan server. Pemanfaatan jaringan tersebut dapat berupa sharing data, sharing printer dan sebagainya.

c) HUB/switchHub/switch berfungsi sebagai terminal atau pembagi sinyal data bagi kartu jaringan (Network Card).

d) Kartu jaringan NICSebuah kartu jaringan (LAN Card) yang terpasang pada sebuah komputer server maupun client berfungsi sebagai media untuk penghubung sehingga komputer dapat dihubungkan kedalam sistem jaringane) Kabel dan KonektorKabel dan konektor berfungsi sebagai media penghubung antara komputer client dengan komputer client yang lain atau dengan peralatan lain yang digunakan untuk membentuk jaringan.



2) Sebutkan dan jelaskan topologi fisik jaringan yang ada minimal 2 buah serta keuntungan dan kerugiannya!Topologi fisik jaringan yang digunakan beserta keuntungan dankerugiannya adalah:



a) Topologi Bus atau LinierMerupakan topologi fisik yang menggunakan kabel Coaxial dengan menggunakan T-Connector dengan terminator 50 ohm pada ujung jaringan. Topologi bus menggunakan satu kabel yang kedua ujungnya ditutup dimana sepanjang kabel terdapat node-node.

Keuntungannya adalah biaya yang murah, instalasi sederhana. Tidak memerlukan Hub/Switch.

Kerugiannya adalah karena sinyal 2 arah dengan satu kabel kemungkinan terjadi collision (tabrakan data atau tercampurnya data)sangat besar, jika terjadi putus atau longgar pada salah satu konektor maka seluruh jaringan akan berhenti, pengecekan kabel yang putus akan memakan waktu yang lama karena harus dilakukan satu persatu.



b) Topologi RingAdalah topoligi fisik yang tertutup sehingga informasi dan data disalurkan dalam satu arah yang membentuh lingkaran tertutup sehingga mengesankan cincin tanpa ujung.

Keuntungannya adalah: layout instalasi yang sederhana, Tidak memerlukan Hub/Switch, tidak terjadi collision (tabrakan data atau tercampurnya data).

Kerugiannya adalah: Jika terjadi putus atau longgar pada salah satu konektor maka seluruh jaringan akan berhenti, pengecekan kabel yang putus akan memakan waktu yang lama karena harus dilakukan satu persatu.



c) Topologi StarTopologi Star adalah topologi setiap node akan menuju node pusat/sentral sebagai konselor. Aliran data akan menuju node pusat baru menuju ke node tujuan.

Keuntungan: jenis topologi ini mudah dikembangkan, jika terjadi kerusakan pada salah satu node maka hanya node tersebut yang terganggu tanpa mengganggu jaringan lain.

Kerugian: memerlukan biaya tambahan karena membutuhkan Hub/switch sebagai pusat node (node sentral)d) Topologi HybridTopologi Hybrid merupakan gabungan atau kombinasi dari dua atau lebih topologi jaringan lainnya. Topologi Hybrid sering juga disebut Tree topology. Keuntungan dan keruguan adalah sama dengan jenis topologi yang digunakan dari masing-masing gabungan topologi tersebut.



3) Dalam Jaringan apakah perlu dilakukan perawatan? Kalau perlu berapa jangka waktu perawatannya? Mengapa harus dilakukan perawatan? Pada bagian apa saja?



Jawaban:Jaringan sangat perlu dilakukan perawatan. Perawatan harus dilakukan secara berkala dan dilakukan pengecekan setiap minggu serta pada saat terjadi gangguan. Perawatan perlu untuk mendapatkan kinerja jaringan yang optimal dan selalu dalamkondisi yang normal. Bagian yang memerlukan perawatan adalah seluruh komponen jaringan baik secara hardware maupun secara software.



4) Bagaimana penanganan pengisolasian kerusakan pada jaringan dengan topologi Bus dan pengaruhnya terhadap dengan topologi tersebut.

Jawab: Penanganan pengisolasian kerusakan pada jaringan dengan topologi Bus dilakukan step-by-step maksudnya dilakukan pengecekan satu persatu karena jaringan dengan topologi bus lebih rumit karena apabila tejadi jaringan yang down kita tidak dapat langsung mengetahui letak kerusakan jadi perlu dilakukan pengecekan satu persatu untuk menemukan sumber permasalahan tersebut. Pengaruh Jaringan apabila terjadi kerusakan atau pemasalahan seluruh jaringan akan lumpuh total atau tidak dapat berfungsi sama sekali.





5) Bagaimana penanganan pengisolasian kerusakan pada jaringan dengan topologi Star dan pengaruhnya terhadap sistem jaringan tersebut.



Jawab: Penanganan pengisolasian kerusakan pada jaringan dengan topologi Star lebih mudah karena apabila terjadi kerusakan pada salah satu komputer workstation maka hanya jaringan pada komputer tersebut yang bermasalah sehingga pengisolasian lebihmudah dan penanganan perbaikan jaringan juga lebih cepat. Isolasi kerusakan terhadap sistem jaringan dengan topologi star adalah tidak berpengaruh, karena seluruh komputer tersambung secara paralel. Sehingga apabila terjadi kerusakan pada salah satu komputer maka hanya komputer tersebut yang bermasalah sedangkan komputer lainnya tetap dapat berfungsi.



6) Menurut anda lebih mudah pengisolasian pada jaringan pada topologi star atau topologi Bus? Apa kemudahannya?

Jawab: Pada saat isolasi permasalahan secara software hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :



a) Penginstallan driver kartu jaringan dengan sempurna, karena kartu tersebut mengkomunikasikan kartu jaringan dengan komputer. Apabila pengistalan tidak sempurna maka komputer tidak akan mengenal kartu jaringan tersebut sehingga kartu jaringan tidak dapat digunakan.



b) Konfigurasi kartu jaringan karena setting kartu jaringan mengkomunikasikan komputer dengan jaringan yang telah ada.



c) IP Address dan Subnet mask adalah alamat komputer kita karena apabila kita mengisi alamat tersebut dengan asal maka kita tidak dapat masuk dalam sistem jaringan maka perlu mengetahui nomor IP dan Subnet mask yang digunakan dalam jaringan untuk dapat bergabung dalam jaringan tersebut.



d) Workgroup karena untuk masuk dalam jaringan harus mengetahui alamatnya kalau tidak mengetahui kelompok yang kita tuju maka kita juga tidak dapat masuk dalamkelompok tersebut walaupun nomor IP dan subnet mask kita sudah benar.





7) Pada saat isolasi permasalahan secara software hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan? Mengapa?